Kita diajari sejak dini bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Frasa ini begitu sering diulang dalam pelajaran kewarganegaraan, pidato kenegaraan, hingga pembukaan konstitusi. Namun, jarang sekali kita diajak berpikir lebih dalam: apa makna sejati dari kata-kata itu? Apakah “republik” itu benar-benar milik rakyat? Apakah “negara” itu hanya soal pemerintahan?
Mari kita kupas, tanpa basa-basi.
Republik: Hanya Bentuk, Bukan Isi
Kata “republik” berasal dari res publica, yang berarti “hal milik umum”. Dalam teori ideal, republik adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat. Tapi dalam praktiknya? Republik lebih sering hanya menjadi bentuk kosmetik — sebatas label yang menenangkan hati rakyat agar merasa memiliki kuasa, padahal mereka tidak pernah benar-benar memegang kendali.
Hari ini, banyak republik di dunia — termasuk Indonesia — tidak lebih dari sistem oligarkis terselubung yang menggunakan demokrasi prosedural sebagai topeng. Mereka mengadakan pemilu, memajang wajah-wajah kandidat, dan menyodorkan pilihan-pilihan semu. Tapi siapa pun yang menang, sistem tetap dikendalikan oleh kekuatan yang lebih dalam dan lebih diam: uang dan utang.
Kesatuan: Bukan Federal, Tapi Bukan Bebas
Bentuk negara kesatuan sering dibanggakan sebagai simbol persatuan bangsa. Dibanding negara federal yang memberikan otonomi besar kepada wilayah, negara kesatuan menjanjikan keseragaman sistem, kekuasaan terpusat, dan kendali nasional atas daerah.
Namun, kesatuan ini juga membuka ruang bagi dominasi pusat atas daerah — dalam banyak kasus, menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan sentral: bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga pusat-pusat kekuasaan finansial.
Negara: Bukan Sekadar Pemerintah, Tapi Aliansi Kekuasaan
Inilah poin kunci: kata “negara” itu sendiri jauh lebih dalam daripada sekadar merujuk pada “pemerintah”. Dalam praktik modern, negara adalah gabungan dari dua entitas besar: pemerintahan dan perbankan.
Pemerintah membuat hukum, memungut pajak, dan menjalankan birokrasi. Bank — khususnya bank sentral dan institusi keuangan besar — menciptakan uang, mengatur likuiditas, dan mengendalikan sistem kredit. Tanpa perbankan, negara tidak bisa mencetak utang dan menyuntik ekonomi. Tanpa negara, bank tidak bisa menjalankan kekuasaan legal mereka atas mata uang, bunga, dan penyitaan. Keduanya adalah simbiosis kekuasaan. Itulah “negara” modern: birokrasi dan finansial yang bersekutu untuk mengelola, dan sering kali mengekang, hidup rakyat.
Debitur dan Kreditur: Dua Sisi Koin yang Sama-sama Merugikan
Dalam sistem seperti ini, siapa yang paling dirugikan? Orang-orang yang tidak menjadi debitur maupun kreditur.
- Debitur hidup dalam jerat utang, dan ketika mereka gagal membayar, mereka ditindas.
- Kreditur hidup dari bunga, dan sering kali mengeruk keuntungan tanpa menciptakan nilai nyata.
- Tapi yang lebih tragis: rakyat yang tidak berutang dan tidak meminjamkan uang pun tetap ikut menanggung beban. Mereka terkena inflasi dari penciptaan uang berbasis utang, terkena pajak untuk menyubsidi sistem bailout saat krisis keuangan, dan terpaksa hidup dalam ekonomi yang dikendalikan oleh keputusan para bankir dan politisi.
Sistem ini menciptakan perang kelas finansial terselubung. Yang satu berutang, yang lain meminjamkan, dan yang di tengah — rakyat biasa yang bekerja keras tanpa ikut permainan kredit — justru menjadi korban terbesar dari semua ketimpangan yang terjadi.
Kesimpulan: Kita Harus Menyadari Siapa yang Mengendalikan “Negara”
Kita tidak sedang hidup di dalam “republik rakyat”. Kita hidup dalam negara yang dibentuk oleh simbiosis kekuasaan politik dan finansial. Sebuah sistem di mana rakyat diberi suara, tapi keputusan besar dibuat di ruang rapat elite dan bursa saham.
Kalau kita ingin memerdekakan diri sebagai bangsa, kita harus berhenti berpikir bahwa “negara” adalah sekadar soal pemilu atau lembaga eksekutif. Kita harus memahami dan membongkar relasi kuasa antara pemerintahan dan perbankan. Baru setelah itu, kita bisa menyusun ulang esensi negara — bukan sekadar bentuk republik, tapi hakikat keadilan.
Leave a Reply