Ilustrasi simbolis kerakusan dan ketakutan masa depan: sosok gelap mewakili kerakusan dan ketakutan yang menghantui, berhadapan dengan siluet tenang yang melambangkan keimanan dan kecukupan

Kerakusan dan Ketakutan: Menelanjangi Krisis Moral di Balik Sistem Ekonomi Global

Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan pasar bebas, dunia justru menyimpan luka mendalam yang semakin menganga: ketimpangan yang brutal, eksploitasi sumber daya yang merusak, dan kehampaan spiritual yang meluas. Di balik semua itu, terdapat satu akar masalah yang jarang disorot namun sangat menentukan arah peradaban manusia: kerakusan.

Kerakusan bukan sekadar ingin lebih dari cukup. Ia adalah gejala kompleks yang muncul dari perpaduan antara rasa takut, kecemasan, dan hilangnya orientasi hidup. Kerakusan hari ini bukan sekadar masalah personal, tapi telah menjadi penyakit sosial yang terstruktur, melembaga, dan bahkan dianggap sebagai “nilai modern.”

Ketakutan sebagai Fondasi Kerakusan

Banyak orang menjadi rakus bukan karena mereka jahat secara naluriah, tetapi karena mereka lapar—baik secara fisik maupun mental. Dalam masyarakat modern yang penuh kompetisi dan ketidakpastian, manusia dipaksa terus bergerak, mengejar, dan menumpuk. Mereka hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran: “Apa yang terjadi jika aku kehilangan semuanya besok?” atau “Apakah aku sudah cukup aman untuk masa depan?”

Psikolog sosial Erich Fromm dalam bukunya To Have or To Be? menulis, “Keserakahan adalah lubang tak berdasar. Ia menuntut, namun tidak pernah merasa puas.” Fromm mengaitkan kerakusan dengan ketakutan eksistensial: manusia modern kehilangan rasa makna, sehingga menggantinya dengan konsumsi dan akumulasi sebagai kompensasi atas kehampaan.

Ini diperkuat oleh fenomena psychosis massal, yakni keadaan ketika ketakutan kolektif mendorong perilaku irasional. Dalam konteks ekonomi, ini terlihat dalam bentuk kegilaan menimbun kekayaan, investasi berlebihan, bahkan berani berutang demi tampil lebih mapan. Di banyak negara, terutama yang menghadapi ketidakstabilan politik atau ekonomi, perilaku konsumtif yang berlebihan justru meningkat sebagai respons terhadap ketidakpastian.

Kerakusan yang Tidak Pernah Usai

Ironisnya, kerakusan tidak berhenti ketika seseorang telah menjadi kaya. Banyak justru menjadi semakin tamak. Ini bukan soal kebutuhan, tapi soal kontrol dan dominasi. Dalam dunia bisnis, kita menyaksikan bentuk kerakusan terselubung yang semakin lazim: menetapkan harga sangat murah bukan demi konsumen, melainkan untuk membunuh pesaing kecil. Atau menyediakan layanan dalam semua variasi agar pasar dikunci untuk satu nama besar saja. Ini adalah bentuk monopoli yang membunuh ekosistem dan menyisakan ruang hidup hanya untuk segelintir pemain besar.

Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menyebut bahwa “pasar bebas tanpa regulasi moral adalah jalan cepat menuju feodalisme modern.” Ketika kekuatan pasar digunakan untuk menyingkirkan pemain kecil, yang terjadi bukan efisiensi, melainkan penindasan. Para pelaku ekonomi besar seolah lupa bahwa ekonomi bukan sekadar sistem efisiensi, melainkan ekosistem kehidupan.

Mereka yang Memilih Cukup

Di sisi lain, tidak semua orang tunduk pada logika kerakusan. Ada yang memilih cukup. Bukan karena pasrah atau tidak ambisius, tetapi karena telah sampai pada pemahaman mendalam: bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak yang bisa dimiliki, tetapi tentang seberapa banyak yang bisa disyukuri.

Sebagian orang cukup karena kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Sebagian lagi merasa cukup karena sadar bahwa keinginan manusia tidak akan pernah berujung. Namun ada juga yang mencapai titik “cukup” karena mereka memiliki harta yang tak kasat mata: iman dan keyakinan akan kecukupan ilahi.

Dalam Islam, keyakinan ini terangkum dalam kalimat agung: “Laa haula wa laa quwwata illa billah” – tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Kalimat ini bukan sekadar zikir pasrah, tetapi deklarasi spiritual yang menanamkan keberanian untuk menolak kerakusan, menertawakan ketakutan, dan membebaskan diri dari perbudakan keinginan.

Imam al-Ghazali pernah menulis, “Harta bukanlah cela, tetapi hati yang terlalu mencintai harta itulah yang celaka.” Di tengah dunia yang memuja pertumbuhan tanpa batas, orang yang memilih cukup dengan tulus adalah pilar terakhir kewarasan spiritual umat manusia.

Jalan Menuju Peradaban yang Lebih Waras

Kerakusan tidak akan selesai dengan ajakan moral semata. Ia butuh rekonstruksi sosial: pendidikan yang menanamkan nilai kebermaknaan, regulasi ekonomi yang adil, dan budaya hidup yang menghargai cukup. Dunia butuh sistem yang memberi ruang bagi semua untuk bertumbuh—bukan hanya segelintir yang rakus.

Ekonom dan filsuf Amartya Sen mengingatkan bahwa kesejahteraan bukan hanya soal akumulasi, tetapi soal kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat. Dunia yang terlalu rakus adalah dunia yang tidak bisa ditinggali oleh mayoritas umat manusia.

Sebaliknya, dunia yang cukup adalah dunia yang adil, berkelanjutan, dan manusiawi.

Penutup

Kerakusan bukan warisan genetik. Ia adalah pilihan sosial yang dipelihara oleh sistem, dibenarkan oleh budaya, dan dibiarkan oleh ketakutan. Jika kita ingin peradaban yang lebih sehat, maka harus ada keberanian untuk mengatakan: cukup. Dan itu hanya bisa dimulai jika manusia kembali percaya bahwa rezeki, masa depan, dan kekuatan bukan datang dari kerakusan, tapi dari keyakinan.

Karena sesungguhnya, tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin-Nya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *